Bos Paisley bukan orang yang biasa dengan kekalahan.
Sebagai manajer di masa keemasan Liverpool tahun 1970an dan 80an, sosok asli Sunderland tersebut meraih tiga gelar juara liga dan tiga piala Eropa dalam periode sembilan tahun.
Akan tetapi pada Desember 1981, Paisley dipaksa meminta maaf setelah the Reds tumbang.
"Kami seperti sebuah tim pub," akunya sesaat setelah jawara Eropa tersebut tersungkur di hadapan Flamengo 3-0 di Piala Intercontinental di Tokyo.
38 tahun setelah momen tersebut, kedua tim kembali bertemu untuk memperebutkan status tim terbaik di plamet ini dan the Reds tidak bisa menganggap remeh tim kuat asal Brasil itu.
Penilaian jujur Paisley soal aksi para pemainnya di Jepang dibenarkan oleh sejumlah bintang the Reds kepada harian Brasil Folha.
Kebalikan dari persiapan serius Flamengo dalam mengantisipasi pertandingan, pasukan dari Merseyside, seperti kebanyakan tim-tim Inggris lainnya di masa lalu dan sekarang, tidak bergairah menyikapi pertarungan antarbenua ini.
"Persiapan kami terhadap pertandingan itu mengerikan," aku kapten Phil Thompson. "Kami merasa laga itu hanyalah persahabatan. Kami tidak pernah membayangkan Flamengo akan bermain serius. Kami jauh dari status tim terbaik Eropa."
"Perjalanan ke Jepang adalah sebuah lelucon," imbuh mantan striker David Johnson. "Sekarang, pergi ke Jepang tidak jauh berbeda dengan berpindah hotel."
"Yang kami alami dahulu adalah, duduk selama 24 jam. Apa yang kamu lakukan pada situasi itu? Minum bir dan bermain kartu."
Meski dengan persiapan yang jauh dari ideal, Liverpool tetap menginjakkan kaki di atas lapangan dengan status favorit.
Pasukan Paisley mengangkat tiga trofi dari lima gelaran Piala Eropa sebelumnya, mereka mempertahankan gelar pada 1981 dengan menghajar Real Madrid 1-0 di Paris Parc des Princes.
Dengan sederet bintang seperti kiper Ray Clemence, legenda Skotlandia Kenny Dalflish dan bek kukuh seperti Thompson dan Alan Hanse, Liverpool tampil di Piala Intercontinental untuk pertama kali setelah absen pada 1977 dan 1978. Mereka membidik kesempatan menjadi tim Ingris pertama yang menjadi juara.
Tetapi Flamengo juga bukan lawan ringan.
Mereka dilatih oleh mantan gelandang Brasil Paulo Cesar Carpegiani yang ketika itu baru berusia 31 namun mampu membawa timnya menang atas tim Cile Cobreloa untuk menjadi juara Copa Libertadores untuk pertama kali. Di tahun berikutnya mereka menyumbang tiga pemain ke skuad Selecao yang tampil mengesankan di Piala Dunia 1982.
Bek seperti Junior dan Leandro selalu tampil solid tetapi ada pemain lain yang jauh lebih gemilang dan mencuri perhatian dunia.
Nama Zico saja sudah cukup untuk membuat merinding mereka yang menghadapinya, dan Zico di usia 28 sedang berada dalam performa terbaik. Dia mengoleksi 11 gol saat Flamengo berjaya di Libertadores, termasuk dua di partai final dan harumnya nama Zico tercium hingga Anfield.
"Flamengo? Kami hanya tahu satu hal, yaitu Zico," imbuh Thompson pada Folha. "Dia punya teknik hebat, brilian saat menendang bola mati. Setelah 90 menit pertandingan saya menyadari dia lebih dari itu."
Carpegiani juga menuntaskan pekerjaannya dengan apik. Dia mendapat rekaman video pertandingan kesuksesan Liverpool di Eropa, tetapi sejatinya pemain Flamengo tidak terlalu mempedulikannya.
"Saya tidak fokus pada hal-hal seperti itu. Saya hanya ingin berlatih dan membuat lawan memikirkan saya," kenang Andrade pada the Guardion. "Dan saya melakukan itu, memastikan lawan resah."
Untuk menjadi catatan tambahan, hanya sedikit waktu tersedia untuk mempersiapkan diri. Setelah merajai Libertadores pada 23 November, tim Brasil tersebut hanya punya waktu kurang dari tiga pekan untuk bermain di Stadion Nasional Tokyo.
Dua tahun sebelumnya Jepang dikejutkan oleh permainan menawan Diego Maradona, remaja sensasional yang memimpin Argentina bersaya di Youth World Cup. Keberhasilan turnamen itu yang menciptakan transformasi di Piala Intercontinental.
Sebelumya dua leg pertandingan digelar di Amerika Latin dan Eropa, sebuah format yang membuat pusing terkait logistik dan ketakutan soal keamanan di hadapan puluhan ribu fans. Pabrikan Jepang Toyota kemudian mengambil alih tuga sponsor pada 1980 dengan aturan satu pertandingan dimainkan di Tokyo.
Laga perdana membawa pasukan Nottingham Forest di bawah komando Brian Clough terbang ke Asia, mereka dihajar Nacional 1-0 di hadapan 62.000 fans.
Duel tersebut terbukti meledak yang diikuti ikatan kuat antara Jepang dengan permainan Amerika Latin yang terus terjaga hingga hari ini.
Desember berikutnya, di bawah cuaca dingin di ibu kota Jepang, Stadion Nasional kembali menghadirkan dua tim raksasa sepakbola.
Mereka yang hadir langsung dimanjakan performa kelas dunia di babak pertama dari tim asal Rio, sementara Liverpool yang gemetar tercabik-cabik.
Sejak menit pertama, seperti yang tercatat dalam biografi Marcus Vinicius Bucar Nunes berjudul Zico: A lesson in living, bintang Flamengo ini menyadari Thompson punya tugas untuk mengikuti pergerakannya. Situasi tersebut dijawabnya dengan menggoda sang bek tengah untuk keluar dari area kekuasaan.
"Nunes, kamu tetap di depan, saya di belakang. Thompson terlalu dekat dengan saya," demikian instruksi Zico kepada partnernya. "Lihat celah." Tidak perlu lama bagi rencana itu untuk memperlihatkan hasil.
Ketika laga baru berjalan 12 menit, Zico menerima bola dari lini tengah, kemudian mengangkat ke depan yang mengecoh barisan pertahanan the Reds. Nunes sendirian dan menuntaskan peluang dengan menaklukkan Bruce Grobbelaar.
Zico juga menjadi otak terciptanya gol kedua. Grobbelaar menepis tendangan bebas pemilik nomor 10 tersebut dan bola liar dimanfaatkan Adilio.
Ketika laga memasuki menit 41, Liverpool benar-benar dipermalukan. Lagi, Nunes memanfaatkan umpan brilian Zico dan melakukan tusukan untuk memaksa Grobbelaar memungut bola dari jaring gawangnya. 3-0.
Flamengo nyaman memasuki babak kedua, sementara Liverpool tidak bisa berbuat banyak untuk bangkit. Jauh sebelum wasit membunyikan peluit tanda bubaran pertandingan, fans di Jepang sudah memperlihatkan dukungannya pada Flamengo hingga Tokyo terasa bagai kandang sendiri.
"Kami sudah mati secara fisik maupun mental," ujar Paisley di hadapan reporter setelah pertandingan. "Saya tidak pernah melihat para pemain seperti ini. Minim ide dan agresi. Saya tidak bisa memahaminya."
Sementara itu Thompson lebih senang membahas hal lain. "Pemain ini, Zico, sungguh luar biasa. Dia sosok impian semua pemain... Dia monster."
Dari kubu Flamengo, selebrasi liar tercipta tetapi mereka juga merayakan satu hal. Berkat performa impresifnya Zico sekarang dianggap sejajar dengan Pele.
Namun sang bintang dengan cepat menepisnya. "Tidak ada alasan untuk membandingkan saya dengan Pele. Dia yang terhebat, saya hanyalah Zico, hanya Zico."
Hampir 40 tahun berlalu, dua mobil sebagai warisan kesuksesan Flamengo masih beredar.
Zico yang terpilih sebagai pemain terbaik pertandingan, dan Nunes sebagai top skor mendapat hadiah Toyota Celica, meski harus juga disebutkan membawa dua mobil tersebut ke Brasil adalah tantangan tersendiri.
"Mobil itu baru datang pada April 1983, dan saya sudah bermain untuk Udinese pada Juni. Saya hampir tidak pernah mengendarainya," kenang Zico di Globo pada 2011. "Tetapi setelahnya saya sering menggunakan mobil itu, saya mengunjungi banyak tempat. Tetapi pejuang tua itu sekarang sudah letih."
"Saya punya sejumlah tawaran, tetapi tidak pernah berpikir untuk menjualnya. Akan saya simpan selamanya sebagai kenangan hebat pertandingan itu."
Sementara itu Nunes sempat menggunakan Celica sebelum menjualnya ke tetangga dan mobil itu pada akhirnya jatuh pada kolektor dan fans Flaengo Mauro Armenta. Mobil itu sekarang ada di museum Flamengo di Rio, sebagai simbol kemenangan terbesar klub.
Banyak hal yang terjadi setelah pesta kemenangan Flamengo di Tokyo 38 tahun lalu. Kemajuan teknologi dan semakin membesarnya sepakbola secara global membuat pertandingan itu bukan lagi laga gelap. Sekarang semua tim bisa menggunakan semua alat untuk memantau kekuatan dan kelemahan lawan.
Pergerakan global ini juga membuat jarak antara sepakbola Eropa dan Amerika Latin semakin melebar karena para pemain elit lebih senang beraksi di Benua Biru.
Sebagai contoh, skuad Selecao di Copa America 2019 diperkuat dua pemain Liverpool tetapi tidak satupun berasal dari Flamengo, secara total tim Samba hanya diperkuat tiga pemain dari klub lokal.
Di penghujung 2019, Flamengo akan memasuki lapangan dengan status underdog mengingat di atas kertas the Reds punya kualitas dan finansial yang lebih baik.
Tetapi Gabigo,, Felipe Luis, Rafinha dan semua anggota tim lainnya pasti berharap bisa mengulang kisah Zico di Doha. Ya, Flamengo akan berusaha memberikan kekalahan bersejarah lainnya pada Liverpool.
https://news.google.com/__i/rss/rd/articles/CBMiaGh0dHBzOi8vd3d3LmdvYWwuY29tL2lkL2Jlcml0YS9waWFsYS1kdW5pYS1hbnRhcmtsdWItY2VyaXRhLWZsYW1lbmdvLWxpdmVycG9vbC9iZGk1Nm9qYmFwMDAxMTk3bHI5YW1mMm9z0gFsaHR0cHM6Ly93d3cuZ29hbC5jb20vaWQvYW1wL2Jlcml0YS9waWFsYS1kdW5pYS1hbnRhcmtsdWItY2VyaXRhLWZsYW1lbmdvLWxpdmVycG9vbC9iZGk1Nm9qYmFwMDAxMTk3bHI5YW1mMm9z?oc=5
2019-12-20 16:34:00Z
52781943931590
Bagikan Berita Ini
0 Response to ""Zico Itu Monster!" Cerita Bagaimana Flamengo Menjadikan Liverpool Terlihat Layaknya Sebuah 'Tim Pub' - Goal.com"
Post a Comment